Abdullah bin Abbas
03/07/2003
Dia pemuda tua, banyak bertanya (belajar), dan sangat cerdas.
Sahabat yang mulia ini mulia segala-galanya, tidak ada yang ketinggalan. Dalam pribadinya terdapat kemuliaan sebagai sahabat Rasulullah saw. Dia beroleh kemuliaan sebagai keluarga dekat Rasulullah karena sebagai anak paman beliau, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dia mulia dari sudut ilmu karena dia umat Muhammad yang amat alim dan saleh.
03/07/2003
Dia pemuda tua, banyak bertanya (belajar), dan sangat cerdas.
Sahabat yang mulia ini mulia segala-galanya, tidak ada yang ketinggalan. Dalam pribadinya terdapat kemuliaan sebagai sahabat Rasulullah saw. Dia beroleh kemuliaan sebagai keluarga dekat Rasulullah karena sebagai anak paman beliau, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dia mulia dari sudut ilmu karena dia umat Muhammad yang amat alim dan saleh.
Nama lengkapnya Abdullah
bin Abbas. Dia sangat alim tentang kitabullah (Alquran) dan sangat paham
maknanya. Dia menguasai Alquran sampai ke dasar-dasarnya, mengetahui sasaran,
dan segala rahasianya.
Ibnu Abbas lahir tiga
tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah saw. wafat, dia baru berumur tiga belas
tahun. Dalam usia sebaya itu, dia telah menghafal seribu enam ratus enam puluh
hadis untuk kaum muslimin yang diterimanya langsung dari Rasulullah dan dicatat
oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih mereka.
Setelah Ibnu Abbas lahir
ke dunia, bayi yang masih merah itu segera dibawa ibunya kepada Rasulullah saw.
Beliau memasukkan air liurnya ke dalam kerongkongan bayi itu. Air liur Nabi
yang suci dan penuh berkat itulah yang pertama-tama masuk ke dalam rongga perut
anak tersebut, sebelum ia disusukan ibunya. Seiring dengan air liur Nabi, masuk
pulalah ke dalam pribadi bayi itu takwa dan hikmah. "Dan siapa saja yang
diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebajikan yang banyak." (
Al-Baqarah: 269).
Ketika anak itu
meninggalkan usia kanak-kanak dan mulai memasuki usia tamyiz (usia 6 atau 7
tahun), dia tinggal di rumah Rasulullah seperti adik terhadap kakak yang saling
mengasihi. Dia menyediakan air wudu beliau apabila hendak wudu. Bila Rasulullah
salat, anak itu ikut salat; bila beliau bepergian, dia membonceng di belakang.
Sehingga, Ibnu Abbas bagaikan bayang-bayang yang senantiasa mengikuti ke mana
saja beliau pergi, atau dia senantiasa berada di seputar beliau. Sementara itu,
anak tersebut dapat menyimpan dalam hati dan pikirannya yang bersih segala
peristiwa yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya, tanpa alat tulis menulis
seperti yang kita kenal sekarang.
Ibnu Abbas bercerita
mengenai dirinya, "Pada suatu ketika Rasulullah saw. hendak mengerjakan
salat. Aku segera menyediakan air wudu untuk beliau. Beliau gembira dengan apa
yang kulakukan. Ketika beliau siap untuk salat, dia memberi isyarat kepadaku
supaya berdiri di sampingnya. Tetapi, aku berdiri di belakang beliau. Setelah
selesai salat, beliau menoleh kepadaku seraya bertanya, "Mengapa engkau
tidak berdiri di sampingku?" Jawabku, "Anda sangat tinggi dalam
pandanganku, dan sangat mulia untukku berdiri di samping Anda." Rasulullah
menadahkan tangannya, lalu berdoa, "Wahai Allah, berilah dia hikmah."
Allah memperkenankan doa
Rasulullah tersebut. Dia memberi cucu Hasyim tersebut hikmah, melebihi hikmah
ahli-ahli hikmah yang besar-besar. Tentu Anda ingin tahu, hikmah bentuk apa
yang telah dilimpahkan Allah kepada Abdullah bin Abbas. Marilah kita perhatikan
kisah selanjutnya.
Ketika sebagian sahabat
memencilkan dan menghina Khalifah Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas
berkata kepada Ali, "Ya, Amirul Mukminin, izinkanlah saya mendatangi
mereka dan berbicara kepadanya." Kata Ali, "Saya khawatir risiko yang
mungkin engkau terima dari mereka." Jawab Ibnu Abbas, "Insya Allah
tidak akan terjadi apa-apa." Ibnu Abbas masuk ke dalam majlis mereka.
Dilihatnya mereka orang-orang yang sangat rajin beribadah. Mereka berkata,
"Selamat datang, hai Ibnu Abbas. Apa maksud kedatangan Anda kemari?"
Jawab Ibnu Abbas, "Saya datang untuk berbicara dengan tuan-tuan."
Sebagian yang lain berkata, "Katakanlah, kami akan mendengarkan bicara
Anda." Ibnu Abbas berkata, "Coba tuan-tuan katakan kepada saya, apa
sebabnya tuan-tuan membenci anak paman Rasulullah yang sekaligus suami anak
perempuan beliau (mantu Rasulullah), dan orang yang pertama-tama iman dengan
beliau?" Jawab mereka, "Kami membencinya karena tiga perkara."
Tanya Ibnu Abbas, "Apa itu?" Mereka menjawab, "Pertama, dia
bertahkim (mengangkat hakim) kepada manusia tentang urusan agama Allah. Kedua,
dia memerangi Aisyah dan Muawiyah, tetapi dia tidak mengambil harta rampasan
dan tawanan. Ketiga, dia menanggalkan gelar Amirul Mukminin dari dirinya,
padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya. Kata Ibnu Abbas,
"Sudikah tuan-tuan mendengar Alquran dan hadis Rasulullah yang saya
bacakan? Tuan-tuan tentu tidak akan membantah keduanya. Apakah tuan-tuan
bersedia mengubah pendirian tuan-tuan sesuai dengan maksud ayat dan hadis
tersebut?" Jawab mereka, "Tentu!" Kata Ibnu Abbas, "Masalah
pertama, bertahkim kepada manusia dalam urusan agama Allah. Allah SWT
berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh
binatang buruan ketika kamu sedang ihram, siapa saja di antara kamu membunuhnya
dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu." (Al-Maidah: 95). Saya bersumpah dengan tuan- tuan menyebut
nama Allah. Apakah putusan seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan
perdamaian antara kaum muslimin yang lebih penting ataukah seekor kelinci yang
harganya seperempat dirham?"
Jawab mereka, "Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian di antara mereka yang lebih penting." Kata Ibnu Abbas, "Marilah kita keluar dari persoalan ini."
Jawab mereka, "Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian di antara mereka yang lebih penting." Kata Ibnu Abbas, "Marilah kita keluar dari persoalan ini."
Kata Ibnu Abbas, "Masalah
kedua, Ali berperang tetapi dia tidak menawan para wanita seperti yang terjadi
pada masa Rasulullah. Mengenai masalah ini, sudikah tuan-tuan mencaci Aisyah,
lantas tuan-tuan halalkan dia seperti wanita-wanita tawanan yang lain-lain.
Jika tuan-tuan mengatakan "Ya," tuan-tuan kafir. Dan, jika tuan-tuan
menjawab, dia bukan ibu kami, tuan-tuan kafir juga. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri
mereka sendiri, dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka." (Al-Ahzab:
6).
"Nah, pilihlah mana
yang tuan-tuan suka. Mengakui ibu atau tidak. Kata Ibnu Abbas, "Ali
menanggalkan gelar 'Amirul Mukminin' dari dirinya. Sesungguhnya ketika
Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, mula-mula Rasulullah menyuruh untuk ditulis,
inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah. Lalu kata kaum musyrikin,
"Seandainya kami mengakui engkau Rasulullah, tentu kami tidak menghalangi
engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Karena itu, tuliskan
nama engkau saja, "Muhammad bin Abdullah."
Rasulullah memenuhi
permintaan mereka seraya berkata, "Demi Allah, aku adalah Rasulullah,
sekalipun kalian tidak mempercayaiku.
"Bagaimana?" tanya Ibnu Abbas, "Tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar 'Amirul Mukminin' itu kita tanggalkan saja? Jawab mereka, "Ya Allah, kami setuju." Hasil pertemuan Ibnu Abbas dengan mereka (kaum Khawarij) dan alasan-alasan yang dikemukakannya menyebabkan 20.000 orang yang membenci Ali kembali masuk ke dalam barisan Ali. Yang memusuhinya hanya tinggal 4.000 orang.
"Bagaimana?" tanya Ibnu Abbas, "Tidak pantaskah masalah memakai atau tidak memakai gelar 'Amirul Mukminin' itu kita tanggalkan saja? Jawab mereka, "Ya Allah, kami setuju." Hasil pertemuan Ibnu Abbas dengan mereka (kaum Khawarij) dan alasan-alasan yang dikemukakannya menyebabkan 20.000 orang yang membenci Ali kembali masuk ke dalam barisan Ali. Yang memusuhinya hanya tinggal 4.000 orang.
Waktu muda Abdullah bin
Abbas mencari ilmu dengan berbagai cara yang dapat dilakukannya. Waktunya
dihabiskan umtuk menuntut ilmu dengan sungguh- sungguh. Mula-mula dia
memperoleh ilmu dari mata air yang mulia, yaitu langsung dari Rasulullah sampai
beliau wafat. Setelah beliau tiada, dihubunginya ulama- ulama sahabat, lalu dia
belajar kepada mereka. Ibnu Abbas pernah bercerita, "Apabila seseorang
menyampaikan sebuah hadis kepadaku yang diperolehnya dari seorang sahabat
Rasulullah, maka kudatangi sahabat tersebut ke rumahnya waktu dia tidur siang.
Lalu, aku bentangkan serbanku dekat tangga rumahnya dan aku duduk di situ
menunggu dia bangun.
Sementara itu, angin
bertiup memenuhi tubuhku dengan debu tanah. Seandainya aku minta izin masuk kepadanya,
tentu dia akan mengizinkanku. Tetapi, memang aku sengaja melakukan demikian
supaya tidak menganggunya tidur. Ketika dia keluar dan melihatku dalam keadaan
demikian, dia berkata, "Wahai anak paman Rasulullah. Mengapa Anda sendiri
yang datang ke sini? Mengapa tidak Anda suruh saja seseorang memanggilku. Tentu
aku datang memenuhi panggilan Anda!" Jawabku, "Akulah yang harus
mendatangi Anda, ilmu harus didatangi, bukan ilmu yang harus mendatangi.
Sesudah itu kutanyakan kepadanya hadis yang kumaksud."
Ibnu Abbas rendah hati
dalam menuntut ilmu. Dia menghormati /derajat ulama. Pada suatu hari Zaid bin
Tsabit, penulis wahyu dan ketua pengadilan Madinah bidang Fiqih, Qira'ah, dan
Faraidh, mendapat kesulitan karena hewan yang ditungganginya bertingkah. Lalu,
Abdullah bin Abbas berdiri ke hadapannya seperti seorang hamba di hadapan
majikannya. Ditahannya hewan kendaraan Zain bin Tsabit. Kata Zaid,
"Biarkan saja, wahai anak paman Rasulullah!" Jawab Ibnu Abbas,
"Beginilah caranya kami diperintahkan Rasulullah terhadap ulama
kami." Kata Zaid bin Tsabit, "Coba perlihatkan tangan Anda kepada
saya!"
Ibnu Abbas mengulurkan tanganya kepada Zaid, lalu dicium oleh Zaid. "Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah menghormati keluarga Nabi kami, Kata Zaid."
Ibnu Abbas mengulurkan tanganya kepada Zaid, lalu dicium oleh Zaid. "Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah menghormati keluarga Nabi kami, Kata Zaid."
Ibnu Abbas sangat rajin
menuntut ilmu sehingga mencengangkan ulama-ulama besar. Masruq bin Ajda',
seorang ulama besar tabi'in berkata, "Paras Ibnu Abbas sangat elok. Bila
dia berbicara, bicaranya sangat fasih. Bila dia menyampaikan hadits, dia sangat
ahli dalam bidang itu."
Setelah ilmu yang dicarinya sempurna, Ibnu Abbas beralih menjadi guru mengajar. Rumahnya berubah menjadi jam'iah (universitas) kaum muslimin. Memang tidak salah kalau kita katakan universitas, seperti yang kita kenal sekarang. Beda universitas Ibnu Abbas dengan universitas kita sekarang ialah di universitas kita yang mengajar ada sepuluh sampai ratusan orang dosen atau profesor. Tetapi, di universitas Ibnu Abbas yang mengajar Ibnu Abbas seorang.
Setelah ilmu yang dicarinya sempurna, Ibnu Abbas beralih menjadi guru mengajar. Rumahnya berubah menjadi jam'iah (universitas) kaum muslimin. Memang tidak salah kalau kita katakan universitas, seperti yang kita kenal sekarang. Beda universitas Ibnu Abbas dengan universitas kita sekarang ialah di universitas kita yang mengajar ada sepuluh sampai ratusan orang dosen atau profesor. Tetapi, di universitas Ibnu Abbas yang mengajar Ibnu Abbas seorang.
Salah seorang kawan Ibnu
Abbas bercerita, "Saya berpendapat, seandainya kaum Quraisy mau
membanggakan universitas Ibnu Abbas, memang pantas mereka bangga. Saya lihat
orang banyak sudah penuh berkumpul di jalan menuju ke rumah Ibnu Abbas,
sehingga jalan itu sempit dan tertutup oleh kepala orang banyak. Saya masuk
menemuinya dan memberi tahu bahwa orang banyak sudah berdesak- desak di muka
pintu. Katanya, "Tolong ambilkan saya air wudu!" Lalu dia berwudu dan
sesudah itu duduk di ruangan majelis. Katanya, "Siapa yang hendak belajar
Alquran suruhlah mereka masuk." Saya keluar memberi tahu orangn banyak.
Mereka pun masuk, sehingga seluruh ruangan dan kamar-kamar penuh dengan orang
yang hendak belajar Alquran. Apa saja yang mereka tanyakan dijawabnya panjang
lebar. Kemudian berkata kepada mereka, "Beri kesempatan kawan-kawan yang
lain!" Lalu mereka keluar semuannya. Katanya, "Suruh masuk
orang-orang yang hendak belajar tafsir Alquran dan takwilnya!" Maka,
kuumumkan kepada orang banyak, sehingga mereka masuk pula memenuhi ruangan dan
kamar-kamar. Apa yang ditanyakan mereka dijawabnya sampai mereka puas. Katanya,
"Sekarang beri kesempatan pula kawan-kawan yang lain!" Saya
disuruhnya keluar menyilakan orang yang hendak belajar tentang halal dan haram
dan masalah- masalah fikih.
Mereka pun masuk. Segala
pertanyaan mereka dijawabnya panjang lebar. Setelah cukup waktunya, dia berkata
pula, "Kini beri kesempatan kawan- kawan yang hendak belajar faraid dan
sebagainya!" Mereka pun keluar, dan masuk pula orang-orang yang hendak
belajar ilmu faraidh. Setelah selesai pelajaran faraid, disuruh masuk pula
orang-orang yang hendak sastra Arab, syi'ir dan kata-kata arab yang sulit.
Kemudian Ibnu Abbas membagi-bagi hari untuk beberapa macam bidang ilmu dalam
beberapa hari, guna mencegah orang berdesak-desakkan di muka pintu. Umpamanya,
sehari dalam seminggu untuk bidang ilmu tafsir, besok ilmu fikih, besok ilmu
peperangan (sejarah peperangan Rasulullah) atau strategi perang.
Sesudah itu ilmu syi'ir,
sesudah itu ilmu sastra Arab. Tidak ada orang alim yang duduk dalam majelis
Ibnu Abbas melainkan menundukkan diri kepadanya.
Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, dia senantiasa diajak bermusyawarah oleh khalifah rasyidah (bijaksana) sekalipun dia masih muda belia. Apabila Khalifah Umar bin Khattab menghadapi suatu persoalan yang rumit, diundangnya ulama-ulama terkemuka termasuk Ibnu Abbas yang muda belia. Bila Ibnu Abbas hadir, Khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi bagi Ibnu Abbas dan Khalifah sendiri duduk di tempat yang lebih rendah seraya berkata, "Anda lebih berbobot daripada kami."
Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, dia senantiasa diajak bermusyawarah oleh khalifah rasyidah (bijaksana) sekalipun dia masih muda belia. Apabila Khalifah Umar bin Khattab menghadapi suatu persoalan yang rumit, diundangnya ulama-ulama terkemuka termasuk Ibnu Abbas yang muda belia. Bila Ibnu Abbas hadir, Khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi bagi Ibnu Abbas dan Khalifah sendiri duduk di tempat yang lebih rendah seraya berkata, "Anda lebih berbobot daripada kami."
Pada suatu ketika Khalifah
Umar mendapat kritik karena perlakuan yang diberikannya kepada Ibnu Abbas
melebihi dari ulama yang tua-tua. Maka, kata Umar, "Dia pemuda tua, dia
lebih banyak belajar dan berhati tenang."
Ketika Ibnu Abbas beralih mengajar orang-orang tertentu, dia tetap tidak melupakan kewajibannya terhadap orang-orang awam. Maka, dibentuknya majelis-majelis wa'azh dan tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Di antara pengajarannya, dia berkata kepada orang-orang yang berdoa, "Wahai orang yang berbuat dosa! Jangan sepelekan akibat-akibat perbuatan dosa itu, sebab ekornya jauh lebih gawat daripada dosa itu sendiri. Kalau engkau tidak merasa malu kepada orang lain, padahal engkau telah berbuat dosa, maka sikap tidak punya malu itu sendiri adalah juga dosa. Kegembiraanmu ketika melakukan dosa, padahal engkau tidak tahu apa yang diperbuat Allah atas dirimu adalah juga dosa. Kalau engkau sedih karena tidak dapat berbuat dosa, maka kesedihanmu itu jauh lebih dosa daripada perbuatan itu. Engkau takut kalau-kalau angin bertiup membukakan rahasiamu, tetapi engkau sendiri telah berbuat dosa tanpa takut akan Allah yang melihatmu. Maka, sikap seperti itu adalah lebih besar dosanya ketimbang perbuatan dosa itu."
"Wahai orang yang berdosa! Tahukah Anda dosa Nabi Ayyub a.s. Yang menyebabkannya mendapat bala (ujian) mengenai jasad dan harta bendanya? Ketahuilah, dosanya hanya karena ia tidak menolong seorang miskin yang minta pertolongannya untuk menyingkirkan kezaliman."
Ketika Ibnu Abbas beralih mengajar orang-orang tertentu, dia tetap tidak melupakan kewajibannya terhadap orang-orang awam. Maka, dibentuknya majelis-majelis wa'azh dan tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Di antara pengajarannya, dia berkata kepada orang-orang yang berdoa, "Wahai orang yang berbuat dosa! Jangan sepelekan akibat-akibat perbuatan dosa itu, sebab ekornya jauh lebih gawat daripada dosa itu sendiri. Kalau engkau tidak merasa malu kepada orang lain, padahal engkau telah berbuat dosa, maka sikap tidak punya malu itu sendiri adalah juga dosa. Kegembiraanmu ketika melakukan dosa, padahal engkau tidak tahu apa yang diperbuat Allah atas dirimu adalah juga dosa. Kalau engkau sedih karena tidak dapat berbuat dosa, maka kesedihanmu itu jauh lebih dosa daripada perbuatan itu. Engkau takut kalau-kalau angin bertiup membukakan rahasiamu, tetapi engkau sendiri telah berbuat dosa tanpa takut akan Allah yang melihatmu. Maka, sikap seperti itu adalah lebih besar dosanya ketimbang perbuatan dosa itu."
"Wahai orang yang berdosa! Tahukah Anda dosa Nabi Ayyub a.s. Yang menyebabkannya mendapat bala (ujian) mengenai jasad dan harta bendanya? Ketahuilah, dosanya hanya karena ia tidak menolong seorang miskin yang minta pertolongannya untuk menyingkirkan kezaliman."
Ibnu Abbas tidak termasuk
orang-orang yang pandai berkata tetapi tidak berbuat. Dia tidak termasuk orang
yang pandai melarang tetapi tidak menghentikan. Abdullah bin Mulaikah
bercerita, "Saya pernah menemani Ibnu Abbas dalam suatu perjalanan dari
Mekah ke Madinah. Ketika kami berhenti di suatu tempat, dia bangun tengah
malam, sementara yang lain-lain tidur karena lelah. Saya pernah pula melihatnya
pada suatu malam membaca ayat ke-19 surah Qaf berkali-kali sambil menangis
hingga terbit fajar. Sebagai kesimpulan, tahulah kita bahwa Ibnu Abbas yang
berparas tampan itu senantiasa menangis tengah malam karena takut akan siksa
Allah sehingga air mata membasahi kedua pipinya.
Ibnu Abbas sampai ke
puncak ilmu yang dimilikinya. Pada suatu ketika musim haji, Khalifah Muawiyah
bin Abi Sufyan pergi haji. Bersamaan dengan khalifah, pergi pula Abdullah bin
Abbas. Khalifah Muawiyah diiringkan oleh pasukan pengawal kerajaan. Abdullah
bin Abbas diiringkan oleh murid-muridnya yang berjumlah lebih banyak daripada
pengiring Khalifah.
Usia Abdullah bin Abbas mencapai tujuh puluh satu tahun. Selama itu dia telah memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah, dan takwa. Ketika dia meninggal, Muhammad bin Hanafiyah turut melakukan salat atas jenazahnya bersama-sama dengan para sahabat yang lain-lain serta para pemuka tabi'in.
Usia Abdullah bin Abbas mencapai tujuh puluh satu tahun. Selama itu dia telah memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah, dan takwa. Ketika dia meninggal, Muhammad bin Hanafiyah turut melakukan salat atas jenazahnya bersama-sama dengan para sahabat yang lain-lain serta para pemuka tabi'in.
Tatkala mereka menimbun
jenazahnya dengan tanah, mereka mendengar sura membaca, "Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridai-Nya. Masuklah
ke dalam kelompok jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku"
(Al-Fajr: 27 -- 30).
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, Dr. Abdur Rahman Ra'fat Basya
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, Dr. Abdur Rahman Ra'fat Basya
No comments:
Post a Comment